Memory Part 1 - Regret
Seorang pria muda
tengah duduk di sebuah sofa di dalam ruangan serba putih. Pria itu nampak
menatap kelur jendela kaca yang ada di samping tempat duduknya, dengan tatapan
mata yang kosong. Sepertinya ia tengah melamun.
“Bagaimana perasaanmu, Yoon Gi?” terdengar sebuah suara yang
tampaknya menyadarkan lamunan pria itu. Ia menoleh ke arah si pemilik suara.
Di sana ada seorang pria muda berjas putih, yang tengah bersandar
di meja kerjanya sambil menatap pria yang dipanggilnya dengan nama Yoon Gi itu.
Pria muda itu adalah seorang psikiater bernama Lee Hyun. Yoon Gi pun menghela
napas.
“Apa kau menanyakan itu, karena kau tidak tahu bagaimana
perasaanku?” tanya Yoon Gi dengan raut wajah datar. Hyun berjalan menghampiri
Yoon Gi, kemudian duduk di sofa yang ada di seberang Yoon Gi.
“Sudah setahun berlalu. Bukankah seharusnya kau sudah merasa
sedikit merelakannya?” ucap Hyun hati-hati. Mendengar ucapan itu, Yoon Gi
kembali mengarahkan pandangannya keluar jendela dan menatap langit yang sedang
turun salju.
“Ah, rupanya salju pertama turun hari ini.” gumam Yoon Gi.
“Apa? Kau bilang apa?” tanya Hyun yang kebingungan dengan maksud
gumaman Yoon Gi itu. Yoon Gi tiba-tiba berdiri menyambar coat-nya
yang ia letakkan di sandaran sofa, dan mengenakannya.
“Ha? Kau mau kemana?” tanya Hyun yang kebingungan dengan tingkah
Yoon Gi itu.
“Hyun-ah, maaf aku harus segera pergi. Aku punya janji dengan Yoon
Joo...” sahut Yoon Gi dengan senyum merekah di wajahnya. Hyun yang mendengar
itu langsung berdiri dan menahan tangan Yoon Gi.
“Yoon Gi-ah!” seru Hyun sembari menahan tangan Yoon Gi agar ia tak
pergi.
“Maaf, Hyun. Aku harus pergi, Yoon Joo pasti menungguku. Dia
berjanji akan menemuiku di hari salju pertama tu...”
PLAAKKK!!!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri Yoon Gi, membuatnya terkejut
dan terdiam hingga tak mampu melanjutkan perkataannya. Sementara itu, Hyun
menatapnya dengan tatapan marah dan sedih, matanya tampak berkaca-kaca melihat
kondisi temannya itu. Ia langsung meraih kedua bahu Yoon Gi dan membuatnya
berdiri tegak.
“Yoon Gi-ah, sadarlah! SADARLAH! Yoon Joo sudah meninggal! Dia
sudah meninggal, kau juga melihatnya sendiri kan?!” teriak Hyun berusaha
menyadarkan Yoon Gi yang tengah terdiam.
Kedua bahu Yoon Gi bergetar dalam genggaman Hyun, ia menatap Yoon
Gi yang tengah menunduk. Airmata mengalir deras di wajah Yoon Gi, menetes jatuh
ke lantai. Yoon Gi menangis, ia menangis untuk pertama kalinya dalam satu tahun
setelah Yoon Joo, adiknya meninggal. Hyun yang melihat hal itu, langsung
merangkul Yoon Gi dan menepuk pundaknya untuk menenangkannya.
***
Yoon Gi kini kembali terduduk di tempat duduknya semula, kepalanya
tertunduk lesu. Sementara Hyun duduk di seberang tempat duduknya, sambil
menatapnya dengan tatapan tak sabar.
“Mau sampai kapan kau duduk diam begitu? Tadi kau kan bilang mau
konseling.” Kata Hyun mulai tak sabar melihat Yoon Gi yang hanya diam dan
menunduk menatap lantai. Yoon Gi tetap diam tak merespon. Hyun menghela napas.
“Ah, ya sudahlah. Jika kau tak mau bicara, konseling hari ini
cukup sampai di sini.” Ujar Hyun sambil berdiri dan hendak melepas jas
dokternya.
“Andai saja aku menjemputnya hari itu...” gumam Yoon Gi terputus.
Hyun yang mendengarnya, langsung kembali duduk di tempatnya.
“Ceritakanlah. Aku mendengarkanmu.” bujuk Hyun dengan suara pelan.
Yoon Gi perlahan mengangkat kepalanya dan menatap Hyun.
“Andai saja... hari itu... aku menjemputnya...” ucap Yoon Gi,
“maka dia pasti akan baik-baik saja...” lanjutnya dengan nada parau.
“Hmm... Hari itu? Kapan hari yang kau maksud itu terjadi?” tanya
Hyun sembari menyalakan alat perekam dan meletakkannya di atas meja di
depannya. Yoon Gi menatap alat perekam itu, dan kembali bicara.
“Dua tahun lalu... hari kecelakaan Yoon Joo...” ucapnya dengan
nada parau.
***
Dua tahun lalu...
“Melalui program ini, kita dapat meningkatkan kerja sama antara
perusahaan kita dengan rumah-rumah sakit dalam hal suplai obat-obatan,
peralatan medis, maupun tenaga ahli yang mampu.... bla...bla...bla...”
Saat itu jam telah menunjukkan pukul 7 malam, Yoon Gi yang bekerja
sebagai seorang general manager (GM) di sebuah
perusahaan medis tengah menghadiri sebuah pertemuan penting dengan investor dan
rekan kerja perusahaannya. Ia tengah fokus dengan presentasi salah satu kepala
divisi, saat ponselnya bergetar tanda adanya pesan masuk. Ia membuka pesannya
itu yang ternyata dikirim oleh Yoon Joo, adiknya.
‘Oppa, apa hari ini Oppa sibuk? Bisa jemput aku di kampus? Di luar
sedang turun salju pertama, aku ingin kita jalan-jalan bersama.’
Yoon Gi membaca pesan itu sembari tersenyum pahit, ia menatap
keadaan di sekeliling ruang pertemuan itu berusaha mencari tahu keadaan, untuk
‘melarikan diri’. Tiba-tiba, sebuah tangan menepuk bahunya. Ia menoleh ke arah
si pemilik tangan yang ternyata merupakan direktur perusahaan.
“Min siljang.” Panggil direktur dengan suara setengah
berbisik. Yoon Gi pun mendekat ke arah direktur dengan perlahan.
“Ah ya, Daepyo-nim.” Sahut Yoon Gi dengan hormat.
“Malam ini, bisakah kau menemani aku untuk makan malam bersama
para klien kita? Aku akan merasa canggung jika aku sendiri yang makan malam
bersama mereka, apa kau bisa menemaniku?” ajak direktur. Yoon Gi tampak
kebingungan untuk menjawabnya.
“Ah, bagaimana ya? Tapi...” ucap Yoon Gi ragu-ragu. Direktur
memicingkan matanya, menatap Yoon Gi dengan tatapan curiga.
“Apa ini? Apa kau sudah ada janji? Dengan siapa? Pacar?” tanya
direktur beruntun. Yoon Gi tertawa canggung.
“Ah, tidak. Bukan pacar. Tapi adik perempuanku.” Jawab Yoon Gi.
“Ah, bukankah selama ini kau selalu pulang lebih awal karena
adikmu? Ayolah, sekali ini saja bantu aku. Lagipula tidak setiap hari kan, kau
membatalkan atau menunda janji dengan adikmu. Tolong ya, bantu aku, Min siljang.”
Pinta direktur mulai memelas. Yoon Gi akhirnya menyerah.
“Ah, baiklah. Aku akan menjelaskannya pada adikku dulu. Semoga dia
mengerti.” Ucap Yoon Gi.
“OK. Kalau begitu selesai meeting kita berangkat
bersama ya.” Bisik direktur dengan nada bersemangat, dan langsung kembali ke
posisi duduknya dan memperhatikan presentasi.
Sementara itu, Yoon Gi sibuk mengetik pesan pada adiknya, kemudian
kembali fokus pada presentasi.
***
Sebuah pesan masuk ke ponsel seorang gadis yang tengah sibuk
membaca buku di perpustakaan. Gadis itu segera meraih ponselnya dan membuka
pesan, yang ternyata dari kakaknya. Ia pun membaca pesan itu, sembari
membenarkan letak kacamata yang bertengger di atas hidungnya.
‘Yoon Joo-ya, mian. Oppa tak bisa menjemputmu malam ini, karena
akan ada makan malam perusahaan bersama klien. Oppa benar-benar minta maaf, tak
bisa jalan-jalan denganmu.’
Gadis yang ternyata adalah Yoon Joo, itu pun menghela napas.
Jari-jarinya bergerak mengetikkan pesan balasan untuk kakaknya, Yoon Gi.
‘Hmm... Gwaenchanha. Aku bisa pulang naik taksi kok, lain kali
saja kita jalan-jalannya. Nikmati makan malamnya, Oppa. Saranghae.’ Tulis Yoon Joo.
‘Hmm, baiklah. Hati-hati di jalan, kalau sudah sampai rumah kabari
Oppa. Jangan lupa makan malam. Saranghae<3’
Yoon Joo tersenyum membaca pesan dari Yoon Gi, kemudian ia mulai
membereskan buku-buku yang tadi dibacanya, meletakkannya kembali ke rak,
kemudian berjalan keluar dari perpustakaan menuju jalan raya di depan kampus.
Sembari berjalan, Yoon Joo menengadahkan wajahnya ke atas, menatap langit dan
salju yang berjatuhan. Kemudian ia menurunkan wajahnya dan kembali menatap ke
depan sembari menghela napas berat.
“Aigoo... siapa ini?!” tiba-tiba terdengar suara sapaan seorang
laki-laki yang mengejutkan Yoon Joo.
Yoon Joo berbalik ke arah asal suara, dan ia menemukan seorang
pemuda tengah tersenyum sambil berjalan di sampingnya. Pemuda itu adalah senior
Yoon Joo, bernama Park Jimin. Jimin adalah mahasiswa tahun ketiga fakultas
kedokteran Universitas Kyungsung, sedangkan Yoon Joo adalah mahasiswa baru
tahun pertama di fakultas yang sama.
“Oh, Seonbae... Kau membuatku kaget.” Gerutu Yoon
Joo pada Jimin, yang tengah terkekeh.
“Ah, mian-mian. Aku tidak bermaksud
mengagetkanmu.” sahut Jimin sambil tetap terkekeh. “Ah, kau mau kemana?” tanya
Jimin santai.
“Aku mau pulang. Seonbae sendiri mau kemana?”
ujar Yoon Joo balik bertanya.
“Oh, aku mau ke perpustakaan, mencari beberapa referensi
untuk paper ku. Kau pulang dengan siapa?”
“Aku pulang sendiri, naik taksi.” Jawab Yoon Joo singkat. Jimin
melihat jam tangannya dengan khawatir.
“Apa kau mau kuantar pulang? Biar besok saja ku cari buku-bukunya,
ini sudah malam tak baik jika kau pulang sendiri.” Tawar Jimin.
“Tidak apa-apa, Seonbae. Aku tak mau merepotkanmu. Aku akan
baik-baik saja.” tolak Yoon Joo secara halus.
“Apa kau yakin ingin pulang sendiri?” tanya Jimin untuk
meyakinkan. Yoon Joo menganggukkan kepalanya. Jimin menghela napas.
“Baiklah, kalau begitu biar kubantu kau mencari taksi. Ya?” tawar
Jimin. Yoon Joo pun mengangguk. Lalu mereka berjalan bersama menuju pinggir
perempatan jalan raya, untuk mencari taksi yang lewat.
Tak lama kemudian sebuah taksi datang. Jimin pun menghentikan
taksi itu, dan menyuruh Yoon Joo untuk masuk ke dalam taksi itu. Namun, taksi
itu tak langsung berangkat karena lampu lalu lintas di depannya sedang menyala
merah. Tanda kendaraan harus berhenti.
“Terima kasih, Seonbae.” Ucap Yoon Joo melalui jendela mobil yang
terbuka. Jimin mengangguk.
“Aku pergi dulu ya. Ahjussi hati-hati menyetir
ya.” Pamit Jimin sembari berpesan pada supir taksi. Dan kemudian berbalik pergi
sambil melambaikan tangan pada Yoon Joo.
Lampu lalu lintas pun berubah warna menjadi hijau, dan taksi pun
mulai bergerak lurus melintasi perempatan jalan raya itu. Namun, tanpa disangka
sebuah truk dari arah jalan sebelah kiri menerobos lampu merah dan melaju
kencang menuju ke arah taksi itu. Truk itu kemudian menghantam dan menyeret
taksi itu sejauh beberapa meter dari lokasi kejadian.
Langkah Jimin terhenti saat ia mendengar suara tabrakan tersebut,
ia kembali berbalik memandang ke arah jalan raya. Matanya terbelalak melihat
taksi yang tadi ditumpangi Yoon Joo telah hancur karena dihantam dan terseret
truk.
“YOON JOO!” pekik Jimin yang kemudian berlari kencang ke lokasi
kejadian, yang mulai dikerumuni banyak orang.
“MINGGIR! MINGGIR! YOON JOO-YA!” jerit Jimin sambil menyibak
kerumunan orang-orang di hadapannya, orang-orang menyingkir memberi jalan
padanya. Dan ia melihat dengan jelas dihadapannya terdapat sebuah taksi yang
hampir hancur.
Sejenak pikiran Jimin mulai kosong, membayangkan betapa
mengenaskannya kondisi Yoon Joo yang ada di dalam mobil itu. tiba-tiba, sebuah
tangan yang berlumur darah bergerak keluar dari jendela taksi yang sudah pecah
kacanya itu. Jimin pun kembali tersadar, ia segera menghampiri dan memegang
tangan itu. Ia berusaha mengintip ke dalam melalui celah jendela, dan mendapati
bahwa pemilik tangan itu adalah Yoon Joo, yang tampak tengah memejamkan matanya.
“Yoon Joo-ya...” panggil Jimin dengan suara parau, Yoon Joo pun
membuka matanya dan memandang Jimin.
“Gwaenchanha, tetaplah sadar. Aku akan menolongmu. Yoon Joo-ya,
jangan tidur. Mengerti?” pesan Jimin berusaha membuat Yoon Joo tetap sadar.
Yoon Joo hanya terdiam mentap Jimin dengan tubuh gemetar.
“Ahjussi... Tolong telepon 119. Tolong cepat! Ini
darurat!” pinta Jimin pada seorang pria paruh baya yang ada di dekatnya.
“Ah, baik... baiklah.” Jawab pria itu, dan mulai menelpon.
Sementara, Jimin memeriksa keadaan supir taksi. Namun, sayangnya ia sudah
meninggal di tempat karena terhimpit badan truk dan kehilangan banyak darah.
Jimin kembali menggenggam tangan Yoon Joo yang tengah berusaha
tetap terjaga sambil menatap Jimin yang tampak diselimuti salju yang turun
malam itu.
***
Hyun tampak menopang dagu mendengar cerita itu. Ia berusaha
mencerna cerita itu, saat cerita itu dijeda.
“Jadi, kau berada di sana dan berusaha menyelamatkan Yoon Joo,
yang sedang sekarat. Namun, sayangnya kau tak mampu menyelamatkan nyawa si
supir taksi. Begitukah, Jimin-ssi?” tanya Hyun pada pemuda di
hadapannya, yang rupanya adalah Jimin.
“Ya.” Jawab Jimin singkat. Hyun tampak berpikir.
“Lalu, apa yang membuatmu merasa menyesal? Bukankah kau sudah
berusaha menyelamatkannya?” tanya Hyun hati-hati.
Jimin terdiam. Tiba-tiba airmata mengalir membasahi pipinya.
“Aku menyesal... Andai saja... hari itu... aku yang mengantarnya
pulang...” ucap Jimin terputus-putus, “maka kecelakaan itu... pasti tidak akan
terjadi...” lanjutnya sambil memandang Hyun.
***
Komentar
Posting Komentar