Thorn Love (Part 1)
'Kriieett'
Suara derit pintu kayu
terdengar menggema saat aku membukanya secara perlahan. Aku memejamkan mata
karena terkejut dan takut dengan suara derit itu.
"Aisshh...
Diamlah! Bisa-bisa Ayah terbangun karena suara berisikmu itu." bisikku
memarahi pintu kayu besar itu.
Perlahan ku langkahkan
kakiku ke dalam ruang tamu rumahku yang gelap gulita, sembari kembali mendorong
pelan pintu itu agar dapat menutup tanpa bersuara lagi.
'Ckleekk'
Fiuhh.. Pintunya sudah
tertutup dengan rapat dan tak akan menimbulkan masalah lagi. Aku kembali
melanjutkan langkahku, berjalan ke arah tangga untuk menuju kamarku di lantai
atas.
'Pett'
Mendadak ruang tamu
dan seisi rumah yang tadinya gelap menjadi terang benderang, karena lampu yang
menyala secara tiba-tiba. Langkahku sontak terhenti, seluruh tubuhku kaku, dan
napasku tertahan. Ah! Sial!
"Yoo
Jin-ah!"
Suara rendah dan berat
seorang pria paruh baya memanggil namaku dari tengah ruang tamu. Seketika itu
aku menelan ludahku karena terkejut. Apa yang harus kulakukan sekarang?
"Y.. Ya? A..
Ayah?"
Aku menjawab panggilan
orang yang adalah ayahku itu tanpa menggerakkan tubuhku dari posisi ku yang
kaku tadi.
"Darimana saja
kamu malam-malam begini?" tanyanya.
"Ah... A.. Aku
baru kembali dari ruang bela..."
Aku pun mulai
menggerakkan tubuhku, untuk menatap ayah yang mengajakku bicara. Namun...
"Ahh! Ayah!"
Aku berteriak dengan
keras dan menjatuhkan tubuhku ke lantai secara spontan, saat melihat ayahku
mengarahkan sebuah busur dan panah ke arahku. What the...?! Apa ayah
mau membunuhku?!
"Ai, kenapa kau
berteriak begitu?"
Ayah bertanya sembari
tetap serius dengan busur dan panahnya, sembari membidik ke arahku yang kini
tengah tersungkur di lantai.
"AYAH! SINGKIRKAN
PANAH ITU! APA AYAH INGIN MEMBUNUHKU?!"
Jeritku ketakutan
sembari menunjuk-nunjuk ke arah panah di tangan ayah. Aku sangat takut apabila
ayah benar-benar menembakkan panahnya ke arahku. Namun, ayah yang mendengar
jeritanku justru malah terkekeh kemudian menyingkirkan panah (sial) itu dari
tangannya.
"Kemarilah."
Ia menyuruhku untuk
menghampirinya yang masih tetap duduk di tengah ruang tamu, di atas sofa
kebanggaannya yang sudah berusia kurang kebih sama dengan umurku. Aku mencoba
berdiri dari posisiku. Namun baru saja aku mengangkat tubuhku, aku justru
kembali terjatuh karena kedua kakiku melemah. Auhh... Memalukan!
Tiba-tiba seorang pria
berpakaian hitam datang kemudian mengangkat dan membopong tubuhku dari lantai
lalu mendudukkanku pada sofa di dekat ayahku. Lalu ia berjalan menuju sisi
kanan ayah dan berdiri di sana dengan wajah datarnya. Aku memanyunkan bibirku
untuk mencibirnya.
"Ah iya. Darimana
saja kamu? Kenapa baru pulang selarut ini?"
Suara ayah yang berat
kembali memecah keheningan di ruang tamu yang luas itu.
"Eiih.. Aku sudah
bilang tadi, kalau aku baru dari ruang belajar."
Sahutku sambil
memukuli betisku yang masih lemas.
'Sraakkk'
Ayah melemparkan
beberapa lembar foto yang kemudian berhamburan di atas meja dihadapanku. Mataku
membelalak karena kesal, saat melihat diriku ada di dalam foto-foto itu. Dan
hal paling menjengkelkan adalah, foto-foto itu diambil saat aku sedang asyik
bermain di game center sebuah mall beberapa jam yang lalu.
"Lagi-lagi Yoo
Seok Oppa membuntutiku?! Kenapa?!"
Seruku sembari menatap
pria berpakaian hitam di sisi ayah. Ya! Dia adalah kakak laki-lakiku
satu-satunya, Yoo Seok yang kini menjadi satu-satunya orang kepercayaan ayah,
yang juga akan menjadi pewaris bisnis ayah sekarang ini.
"Aku hanya
khawatir padamu, Jin-ah. Aku khawatir kalau akan ada musuh ayah yang ingin
menyakitimu."
Yoo Seok Oppa yang
biasanya pendiam mulai bicara, mengatakan kekhawatirannya padaku sebagai
alasannya untuk menguntitku selama ini. Kesal, aku pun berdiri, mengambil busur
panah milik ayah, dan membidikkannya pada Yoo Seok Oppa. Kemudian melepaskan
panah itu ke arahnya. Panah itu melesat, menggores pipinya, dan menancap di
dinding. Darah mengalir perlahan di pipi kirinya, Yoo Seok Oppa nampak terkejut
dengan seranganku yang tiba-tiba tersebut.
"Aku juga bisa melindungi
diriku sendiri. Jangan meremehkanku!"
Aku melemparkan busur
itu ke lantai lalu berjalan hendak meninggalkan ruang tamu.
“Yoo Seok-ah.”
Ayah memanggil nama Yoo Seok Oppa dengan
suaranya yang rendah dan berat itu lagi.
“Ya. Ayah.”
“Mulai sekarang kau tak perlu lagi mengawasi Jin.”
“Baik. Ayah.”
Aku tetap melangkahkan kakiku, meski aku sudah mendengar
obrolan mereka itu. Aku sudah terlanjur kesal karena diremehkan, seakan-akan
aku tak mampu melindungi diriku sendiri. Lalu
apa gunanya Ayah melatihku selama 12 tahun ini?!
“Yoo Jin-ah!”
Langkahku kembali terhenti mendengar suara ayah yang kali
ini memanggil namaku dengan nada tegas yang jarang dia gunakan padaku. Aku hanya
sedikit menolehkan kepala ke samping, tanpa berbalik karena masih kesal.
“Apa lagi?”
“Kemarilah.”
Aku pun menuruti perintah ayah itu, dan berbalik kembali
menghampirinya. Aku hanya memandang ayah dengan bingung, karena ayah hanya
duduk diam tanpa bicara apapun.
“Ada apa sih? Kenapa Ayah diam saja?”
Tanyaku tidak sabar. Tiba-tiba ayah mengeluarkan selembar
dan menyodorkannya padaku secara terbalik, tanpa bicara apapun.
“Apa ini?”
Aku mengambil foto itu dari tangan ayah dan membaliknya. Di
sana aku melihat potret seorang pemuda tampan yang sepertinya berasal dari
keluarga kaya raya, dan sepertinya usianya tak jauh berbeda denganku.
“Hmm... Tampan juga. Siapa ini?”
Tanyaku sambil memandang ayah.
“Jung Hoseok. 24 tahun. Anak kedua dari keluarga
konglomerat Hopes Apparell. Bekerja di perusahaan Ayahnya sebagai ketua tim di
bagian teknologi...”
Yoo Seok Oppa menjelaskan tentang pemuda bernama Jung
Hoseok itu dengan cukup detail.
“Ah! Tunggu sebentar. Apa maksud foto ini dan penjelasan
Seok Oppa tadi? Apa kalian ingin menjodohkanku?! Jika itu rencana kalian, aku
tidak mau. Umurku baru 21 tahun, Ayah!”
Aku menghentikan penjelasan Yoo Seok Oppa yang terlalu
mendetail itu, karena merasakan ada hal yang mencurigakan.
“Bukan begitu, Jin-ah.”
Yoo Seok Oppa berusaha menjelaskannya padaku. Namun ayah
mengangkat tangannya untuk menghentikan Yoo Seok Oppa.
“Kau harus mendekati pemuda itu.”
Kata ayah dengan singkat dan membuatku kebingungan
setengah mati.
“Apa? Maksud Ayah apa?”
Ayah menatapku dengan tatapan serius.
“Ini misi pertamamu. Dekati pemuda itu, dapatkan kepercayaannya,
dan lindungi dia!”
To
be continued...
Komentar
Posting Komentar